Sore hari menjelang petang, tubuh mentari telah tenggelam beberapa saat yang lalu. Awan hitam bergandeng-gandengan menutupi petala langit, menurunkan jutaan titik air ke atas permukaan bumi. Berkali-kali suara geluduk1 terdengar nyaring laksana suara raksasa yang sedang murka. Serbuan peluru air membuat hampir setiap ruas jalan menjadi sepi. Di kala hujan, orang-orang lebih memilih menghangatkan tubuh di rumah mereka. Gluduk gluduk gluduk…
Langit menggelegar. Sementara aku sedang dalam perjalanan pulang. Motorku menerjang jurusan mata angin, melawan arah air yang terbang. Wajahku terasa tertusuk-tusuk ribuan jarum, berkali-kali tanpa henti. Kian cepat laju motor, semakin terasa gempuran air itu. Helm yang tanpa kaca penutup muka membebaskan air hujan itu mendera kulit wajah. Mendarat ke roman wajahku kemudian menetes ke bawah dan tergantikan oleh terpaan air berikutnya. Jelas aku merasa sungguh tak nyaman, tapi dalam benakku hanya ada keinginan untuk cepat-cepat pulang. Biarlah sementara waktu tubuhku dihajar dingin. Sebab, kupastikan akan sirna seketika tiba di rumah dan kuhangatkan tubuhku dengan menyeruput teh wasgitel, wangi, sepet, legi dan kentel.
Aku tiba dirumah. Perjalanan tiga puluh menit melawan deras hujan ternyata melelahkan. Aku korbankan pakaian dan tas cangklongku yang menjadi basah karenanya. Padahal tas kesayanganku itu baru kering kemarin sore setelah sebelumnya juga diguyur hujan. Sungguh tas yang malang! Begitu akrab ia dengan air. Tapi tak apalah, besok pagi bisa kembali aku cuci, dan kalau ada panas maka sore harinya akan langsung kering. Kini aku telah sampai dirumah, itu yang lebih penting. Lalu aku mulai hidupkan CPU Ku, yang berusia sekitar enam tahun. Ku ketik kata demi kata, bait demi bait, paragraph demi paragraph untuk mengikuti lomba Djarum Black Blog Conpetition
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Porn, Racism, Sadism