Saya teringat sebuah acara televisi yang muncul di Trans TV setiap hari Sabtu dan Minggu namanya My Trip My Adventure. Acara tersebut meng ekspose keindahan alam Nusantara terutama yang masih alami. Acara tersebut Saya lihat terbilang sukses, karena memunculkan efek domino di masyarakat. Banyak kaos yang kita temui di jalan bertuliskan acara tersebut sudah menjadi bukti bahwa jumlah penonton begitu banyak. Selain itu acara tersebut menurut Saya menimbulkan hasrat bagi kaum muda untuk melakukan travelling ke berbagai pelosok tanah air, hal ini terlihat dari banyaknya anak muda yang memposting lewat media sosial tentang tempat-tempat yang terbilang masih baru.
Saya dan kawan-kawan ceritanya tidak kalah dengan acara di TV tersebut. Pada hari libur tepatnya tanggal 6 Maret 2016 melakukan travelling yang tidak biasanya. Mengapa tidak biasa yaitu karena kami-kami ini sebenarnya sudah cukup berumur, ya walaupun belum tua, tetapi fisik sudah berkurang kekuatannya. Yang kedua sebagian dari kami sudah memiliki keluarga, sehingga harus rela mencuri waktu demi memuaskan hasrat pribadi yang belum tersalurkan sejak muda. Tidak ada salahnya untuk refreshing sekaligus ber olahraga di hari libur. Sambil memacu pedal kami bisa melihat pemandangan yang indah, yaitu dengan gowes alias bersepeda.
Rute yang kami lalui merupakan jalur pariwisata. Mengapa demikian, karena biasanya turis-turis baik lokal maupun mancanegara yang sedang berlibur di Lombok melalui jalan tersebut, yaitu akses menuju Gili Trawangan, Senggigi dan Senaru. Pokoknya kami tidak risau dengan kualitas jalan, dijamin mulus seperti sutera mulai dari Pemenang di Kabupaten Lombok Utara hingga Batu Layar di Kabupaten Lombok Utara. Jika diukur dengan sepido meter sekitar 50 kilo. Jarak yang lumayan untuk olah raga sekaligus refresshing seharian.
Pertama-tama kami memulai dengan meminta bantuan seorang teman kantor untuk mengantar dari office base di daerah Mataram membawa Kami ke Kecamatan Pemenang di Kabupaten Lombok Utara. Untuk itu, Kami melakukan persiapan sejak hari Jumat dengan mengecek kondisi mobil yang akan digunakan untuk mengantar ke tempat start. Untuk ke posisi start kami menggunakan kendaraan jenis pick up agar bisa membawa sepeda. Untuk berangkatnya, Kami melewati jalur Mataram-Pusuk yang konon katanya lebih dekat. Jalan tersebut merupakan jalan terabas untuk cepat sampai ke Lombok Utara.
Kami berjumlah delapan sepeda, rencana awal sekitar sembilan sepeda, jadi ada satu sepeda dan satu joki yang tidak jadi ikut. Lantaran hal tersebut, kemeriahan berkurang sedikit. Tetapi tidak menjadikan suasana berubah menjadi layu, kami tetap saja menikmati suasana jalan yang kala itu tidak terlalu ramai namun tidak pula sepi. Sesekali, kami berpapasan dengan grup sepeda yang lain yang juga sedang melakukan touring. Jika sudah berpapasan dengan pengendara sepeda lain, saya pikir rasa solidaritas diantara pengendara sepeda meningkat. Maklumlah, sekarang ini sepeda bukan lagi alat transportasi mayoritas seperti beberapa tahun silam. Populasinya sudah terancam oleh alat transportasi bermesin. Sebagai minoritas, sepeda kini merupakan alat transportasi yang ekslusif, karena tidak semua orang punya. Kalau dulu orang punya banyak sepeda namun belum tentu punya motor, namun sekarang orang sudah pasti punya motor namun belum tentu punya sepeda. Ya memang sekarang semua serba terbalik, itulah hidup selalu ada perubahan.
Suara rantai menjadi sering terdengar ketika kami memasuki tanjakan di dekat dermaga kapal. Tanjakan di sini termasuk berat, karena lumayan tinggi. Beberapa dari kami harus menyerah turun dari sepeda karena walaupun kecepatan rantainya di stel paling ringan ternyata masih saja tidak kuat untuk naik. Napas menjadi lebih dalam, karena kami membutuhkan banyak energi untuk mengayuh sepeda menuju tempat yang lebih tinggi. Kami pun harus lebih berhati-hati ketika menanjak, biasanya untuk mengimbangi kekuatan menanjak, kami harus oleng kiri dan kanan agar kecepatan konstan. Apalagi banyak kendaraan bermotor yang naik juga harus selalu menjaga kecepatan agar mesin tidak mati, sehingga sudah dipastikan bahwa kecepatannya juga tinggi, inilah yang membuat kami lebih berhati-hati. Ini tidak menjadikan kami menyerah begitu saja. Kami yakin setelah menanjak pasti ada turunan yang begitu nikmat.
Untuk memulihkan kondisi tubuh sehabis menanjak, Kami biasanya istirahat sejenak di atas bukit. Itulah kegunaan dari kita menanjak tinggi, rupanya setelah capek, kita wajib untuk istirahat sejenak dan apalagi ketika istirahat kita bisa memandangi pemandangan pantai Senggigi yang indah. Sungguh, hal ini akan membuat badan cepat pulih ke kondisi normal. Istirahat diatas bukit juga menjadi alasan bahwa kita harus membuka bekal yang sudah dibawa agar tidak terlihat mubazir.
Dan kenikmatan terakhir dari kita naik sepeda di Daerah Senggigi adalah ketika turun dari atas bukit. Kita tidak perlu mengayuh sepeda, karena sudah otomatis kita akan meluncur dengan kencang ke bawah. Energi tersimpan untuk di jalan yang datar dan menanjak. Desiran angin ketika menurun menjadi obat penyejuk ketika keringat banyak keluar sewaktu menanjak. Kecepatan sewaktu menurut dapat maksimal, tapi biasanya kami diam saja memikirkan mengerem jikalau ada penghalang didepan sepeda.
Akhirnya hari minggu dapat terisi dengan kegiatan positif, yaitu olah raga sekaligus refresing. Rencananya kami akan menjajal medan yang lebih menantang seperti Senaru, Sembalum, dan ke daerah Sekotong.
|
Kru sepeda litbang kehutanan BPTHHBK Mataram |
|
Kru sepeda litbang kehutanan BPTHHBK Mataram |
|
Kru naik sepeda litbang kehutanan bpthhbk mataram |
|
Sepeda yang sedang parkir diatas bukit ketika istirahat |
|
Tanjakan begitu tinggi, sehingga tidak kuat mengayuh sepeda dan harus turun |
|
Para anggota gowes sedang mencoba jalan yang naik. Sepeda di stel gigi terendah |
|
Salah seorang kru yang tidak kuat naik tanjakan, sehingga harus menuntun sepeda |