Minggu, 22 Juni 2025

Perang dunia ke-tiga sudah dimulai? Iran Vs Israel (USA, Prancis, Inggris, Jerman)



Bukan Lagi Perang Dunia Ketiga, Tetapi Perang Global yang Terfragmentasi

Gagasan tentang "Perang Dunia Ketiga" yang meletus dari satu titik nyala di Timur Tengah, seperti yang pernah kita bayangkan satu dekade lalu, kini terasa kuno. Apa yang kita saksikan hari ini bukanlah persiapan menuju satu perang kolosal, melainkan sebuah realitas yang jauh lebih rumit dan berbahaya: sebuah perang global yang terfragmentasi. Ini adalah konflik multidimensional yang tidak lagi tersembunyi di balik bayang-bayang. Gendang perang antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat tidak lagi hanya ditabuh dalam latihan militer atau retorika panas para pemimpin; tabuhan itu kini bergema dalam bentuk serangan rudal dan drone langsung, perang proksi yang membara di berbagai negara, dan pertarungan ekonomi serta teknologi yang menentukan supremasi masa depan.

Konteks lama yang menyebut nama Ahmadinejad dan Hugo Chavez sebagai poros anti-AS terasa seperti gema dari masa lalu. Hari ini, poros-poros kekuatan telah bergeser secara dramatis. Aliansi tidak lagi sesederhana "pembenci AS" melawan AS. Kita berada di era di mana Arab Saudi berdialog dengan Iran atas mediasi China, di mana Rusia menjadi sekutu strategis Iran karena keterisolasiannya akibat perang di Ukraina, dan di mana serangan sebuah kelompok proksi di Gaza dapat memicu konfrontasi langsung antara Teheran dan Tel Aviv untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Opini ini akan membedah anatomi konflik modern ini, melihat melampaui tajuk utama untuk memahami pergeseran doktrin militer, jaringan proksi yang menjadi inti strategi Iran, aliansi geopolitik baru yang membentuk kembali peta kekuatan, dan bom waktu nuklir yang terus berdetak di jantung semua ketegangan ini. Bersiaplah, karena perang ini sudah dimulai. Pertanyaannya bukan lagi "apakah akan terjadi," melainkan "seberapa luas dan destruktif dampaknya bagi dunia?"

Dari Perang Bayangan ke Konfrontasi Terbuka—Aturan Main yang Telah Dilanggar

Selama bertahun-tahun, konflik antara Iran dan Israel adalah sebuah "perang bayangan" (shadow war). Pertarungan ini terjadi di dunia siber, melalui sabotase fasilitas nuklir, pembunuhan ilmuwan Iran yang didalangi Mossad, dan serangan-serangan misterius terhadap kapal-kapal tanker di perairan Teluk. Aturan mainnya tidak tertulis namun dipahami: hindari konfrontasi langsung yang dapat memicu perang regional habis-habisan.

Namun, semua itu berubah secara fundamental. Dua peristiwa penting telah merobek tabir perang bayangan ini dan menyeret kedua musuh bebuyutan ke panggung konflik terbuka.

Katalisator Pertama: Serangan 7 Oktober dan Perang Gaza Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 bukan sekadar serangan teroris; itu adalah pemicu strategis yang mengaktifkan seluruh jaringan "Poros Perlawanan" (Axis of Resistance) yang dibangun Iran selama puluhan tahun. Respons militer Israel yang menghancurkan di Gaza menciptakan gelombang tekanan di seluruh kawasan. Bagi Iran, ini adalah momen untuk menunjukkan relevansi dan kekuatan jaringan proksinya.

Hezbollah di Lebanon mulai melancarkan serangan roket harian ke Israel utara, memaksa puluhan ribu warga Israel mengungsi. Milisi pro-Iran di Irak dan Suriah meningkatkan serangan terhadap pangkalan-pangkalan militer AS. Dan yang paling signifikan, Houthi di Yaman memulai kampanye serangan drone dan rudal terhadap kapal-kapal komersial di Laut Merah, dengan dalih solidaritas terhadap Palestina. Tindakan Houthi secara efektif menginternasionalkan konflik, mengganggu rantai pasok global, dan memaksa AS serta sekutunya untuk melancarkan serangan balasan.

Perang Gaza menjadi justifikasi dan sekaligus lapangan uji bagi strategi Iran: mengikat Israel dan AS dalam konflik multi-front yang melelahkan, tanpa harus melibatkan pasukan Iran secara langsung.

Klimaks: Serangan Konsulat dan Balasan yang Belum Pernah Terjadi Titik baliknya tiba pada 1 April 2024. Israel melancarkan serangan udara presisi ke gedung konsulat Iran di Damaskus, Suriah, menewaskan beberapa komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), termasuk Jenderal Mohammad Reza Zahedi. Ini bukan lagi serangan terhadap proksi atau aset nuklir; ini adalah serangan langsung terhadap properti diplomatik dan personel militer tingkat tinggi Iran.

Bagi Teheran, ini adalah pelanggaran "garis merah" yang tidak bisa ditolerir tanpa kehilangan muka secara total. Di bawah tekanan dari faksi garis keras di dalam negeri dan untuk menegaskan kembali kekuatan deterensnya, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menyetujui sebuah tindakan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Pada malam 13 April 2024, Iran melancarkan serangan langsung pertamanya ke wilayah Israel. Lebih dari 300 proyektil—termasuk drone kamikaze Shahed, rudal jelajah, dan rudal balistik—ditembakkan melintasi ribuan kilometer. Dunia menahan napas.

Meskipun 99% dari proyektil tersebut berhasil dicegat oleh sistem pertahanan berlapis Israel (Iron Dome, David's Sling, Arrow) dengan bantuan krusial dari AS, Inggris, Prancis, dan bahkan Yordania, signifikansi serangan itu tidak dapat diremehkan. Tabu telah dilanggar. Iran telah menunjukkan kemampuannya untuk menjangkau Israel dari tanahnya sendiri dan kesediaannya untuk mengambil risiko eskalasi besar. Balasan Israel beberapa hari kemudian, yang dilaporkan menargetkan sistem radar pertahanan udara di dekat fasilitas nuklir Isfahan, bersifat terukur namun mengirimkan pesan yang jelas: kami juga bisa menembus pertahananmu dan menyerang target strategis kapan saja.

Sejak saat itu, aturan main telah ditulis ulang. Perang bayangan telah usai. Kini kita berada di era konfrontasi langsung, di mana setiap salah perhitungan dapat dengan mudah memicu kebakaran yang jauh lebih besar.

Jaringan Proksi Iran—Lengan Panjang Teheran yang Mencengkeram Timur Tengah

Untuk memahami kekuatan Iran, kita tidak bisa hanya melihat jumlah tank atau pesawat tempurnya. Kekuatan sejati Iran terletak pada doktrin perang asimetrisnya, dan jantung dari doktrin itu adalah jaringan proksi yang loyal, terlatih, dan dipersenjatai dengan baik. Ini bukan sekadar "dukungan" dari negara lain; ini adalah perpanjangan tangan kebijakan luar negeri dan militer Iran.

Analisis lama yang mempertanyakan apakah negara-negara Arab akan mendukung Iran karena perbedaan Sunni-Syiah kini tidak lagi relevan dalam kerangka strategis ini. Iran tidak mencari dukungan dari negara (state actor), melainkan membangun kekuatan melalui aktor non-negara (non-state actors) yang dapat beroperasi di luar hukum internasional.

  • Hezbollah (Lebanon): Ini adalah "permata mahkota" dalam jaringan proksi Iran. Bukan lagi sekadar milisi, Hezbollah adalah kekuatan militer paling tangguh di dunia Arab, dengan persenjataan roket presisi yang diperkirakan berjumlah lebih dari 150.000, mampu menjangkau seluruh wilayah Israel. Mereka adalah ancaman eksistensial di perbatasan utara Israel, memaksa Israel untuk selalu memperhitungkan front kedua dalam setiap skenario perang.

  • Houthi/Ansar Allah (Yaman): Dari kelompok pemberontak lokal, Houthi telah bertransformasi menjadi aktor regional yang signifikan berkat dukungan Iran. Mereka kini memiliki drone canggih, rudal balistik, dan rudal anti-kapal yang mampu mengancam jalur pelayaran vital di Laut Merah dan Teluk Aden. Mereka telah membuktikan kemampuannya untuk menahan tekanan militer dari koalisi pimpinan Saudi dan kini menjadi alat strategis Iran untuk menekan ekonomi global.

  • Milisi di Irak dan Suriah: Kelompok-kelompok seperti Kata'ib Hezbollah dan Harakat al-Nujaba adalah alat Iran untuk menekan kehadiran militer AS di kawasan tersebut. Serangan rutin mereka terhadap pangkalan AS berfungsi untuk melemahkan moral pasukan Amerika, meningkatkan biaya politik pendudukan bagi Washington, dan menegaskan pengaruh Iran di "Bulan Sabit Syiah" yang membentang dari Teheran hingga Beirut.

  • Hamas & Jihad Islam Palestina (Gaza): Meskipun merupakan kelompok Sunni, Hamas dan Jihad Islam menerima dana, pelatihan, dan persenjataan dari Iran karena kesamaan tujuan: perlawanan terhadap Israel. Peristiwa 7 Oktober adalah bukti paling nyata dari keberhasilan strategi Iran dalam mempersenjatai dan memberdayakan kelompok-kelompok yang dapat menimbulkan kerusakan masif pada musuhnya.

Strategi proksi ini memberikan Iran beberapa keuntungan luar biasa: plausible deniability (kemampuan untuk menyangkal keterlibatan langsung), kemampuan untuk berperang di banyak front secara bersamaan, dan kemampuan untuk menguras sumber daya musuh yang jauh lebih kuat secara konvensional dengan biaya yang relatif rendah.

Pergeseran Lempeng Geopolitik—Aliansi Baru di Dunia Multipolar

Panggung global tempat konflik ini berlangsung sama sekali berbeda dari satu dekade lalu. Dominasi tunggal AS telah terkikis, digantikan oleh dunia multipolar di mana kekuatan-kekuatan regional dan global lainnya memainkan peran yang semakin menentukan.

Poros Rusia-Iran: Aliansi yang Ditempa dalam Perang Hubungan Iran dengan Rusia telah berevolusi dari sekadar kemitraan taktis di Suriah menjadi aliansi strategis yang mendalam, yang dipercepat oleh invasi Rusia ke Ukraina. Terisolasi oleh sanksi Barat, Moskow berpaling ke Teheran untuk mendapatkan pasokan vital: drone kamikaze Shahed. Ribuan drone ini telah digunakan untuk meneror kota-kota di Ukraina.

Sebagai imbalannya, Rusia dilaporkan memberikan Iran dukungan teknologi militer canggih, termasuk kemungkinan jet tempur modern (seperti Su-35) dan sistem pertahanan udara yang lebih canggih. Aliansi ini sangat berbahaya. Ini memberikan Iran akses ke teknologi yang dapat menantang supremasi udara Israel dan AS, sementara memberikan Rusia sekutu yang dapat diandalkan untuk menantang kepentingan Barat di Timur Tengah. Narasi lama tentang Rusia yang "mungkin" membantu kini telah menjadi kenyataan berupa kerjasama militer yang erat.

China: Sang Pialang Kekuatan yang Pragmatis China memainkan permainan yang jauh lebih kompleks. Sebagai mitra dagang terbesar Iran dan importir utama minyaknya, Beijing adalah penyambung hidup ekonomi Teheran. Kerjasama ekonomi ini, yang tertuang dalam perjanjian strategis 25 tahun, memastikan bahwa Iran tidak akan pernah sepenuhnya terisolasi.

Namun, kepentingan China tidak hanya terletak pada mendukung Iran. Sebagai kekuatan ekonomi global, China sangat membutuhkan stabilitas di Timur Tengah untuk mengamankan pasokan energinya dan kelancaran Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). Inilah sebabnya mengapa Beijing mengambil langkah yang mengejutkan pada tahun 2023 dengan menengahi pemulihan hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi.

Peran China adalah sebagai penyeimbang. Mereka tidak akan meninggalkan Iran, tetapi mereka juga tidak ingin melihat perang regional yang akan menghancurkan kepentingannya. Mereka menolak sanksi PBB terhadap Iran, tetapi juga secara bersamaan berinvestasi besar di negara-negara Teluk yang menjadi saingan Iran. China bukanlah sekutu militer Iran, melainkan pelindung ekonomi pragmatis yang kepentingannya terletak pada pencegahan konflik total.

Dunia Arab yang Terbelah: Antara Normalisasi dan Ketakutan Gagasan lama bahwa negara-negara Arab akan "menunggu dan melihat" atau secara diam-diam mendukung AS sudah usang. Kawasan ini telah mengalami pergeseran seismik melalui Persetujuan Abraham (Abraham Accords). Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko telah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Motivasi utamanya? Ketakutan bersama terhadap ancaman Iran.

Negara-negara Teluk ini, terutama UEA dan Arab Saudi, melihat program rudal balistik dan jaringan proksi Iran sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional mereka. Mereka telah berinvestasi miliaran dolar dalam sistem pertahanan udara dari AS dan Israel. Alih-alih front Arab bersatu melawan Israel, kita sekarang melihat front de-facto yang terdiri dari Israel dan negara-negara Teluk Sunni melawan poros Iran.

Namun, ini pun tidak hitam-putih. Arab Saudi, di bawah kepemimpinan Mohammed bin Salman, juga mengejar jalur de-eskalasi dengan Iran, menyadari bahwa mereka akan berada di garis depan jika perang pecah. Oleh karena itu, dunia Arab saat ini terpecah antara faksi yang pro-normalisasi dengan Israel untuk melawan Iran, dan faksi yang berusaha menenangkan Iran untuk menghindari konflik.

Bom Waktu Nuklir—Masalah Inti yang Tak Terpecahkan

Di balik semua rudal, drone, dan manuver geopolitik, terdapat satu isu yang menjadi inti dari ketakutan Israel dan Barat: program nuklir Iran. Perjanjian nuklir 2015 (JCPOA), yang seharusnya membatasi program ini, kini praktis mati setelah penarikan diri AS di bawah pemerintahan Trump pada 2018.

Sejak itu, Iran telah secara signifikan memajukan programnya. Mereka kini memperkaya uranium hingga tingkat kemurnian 60%, sangat dekat dengan tingkat 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir. Waktu yang dibutuhkan Iran untuk memproduksi bahan fisil yang cukup untuk satu bom ("breakout time") kini diperkirakan hanya dalam hitungan minggu.

Ini menciptakan dilema strategis yang mengerikan bagi Israel dan AS.

  • Apakah Iran benar-benar akan membuat bom? Banyak analis percaya bahwa tujuan Iran bukanlah memiliki bom itu sendiri, tetapi mencapai status "negara ambang batas nuklir"—memiliki semua kemampuan dan bahan untuk membuat bom dengan cepat jika diinginkan. Status ini saja sudah memberikan payung deterens yang kuat.

  • "Garis Merah" Israel: Bagi Israel, Iran yang memiliki senjata nuklir adalah ancaman eksistensial yang tidak dapat diterima. Sejarah panjang serangan Israel terhadap program nuklir di Irak (1981) dan Suriah (2007) menunjukkan bahwa mereka bersedia mengambil tindakan militer sepihak untuk mencegah musuh bebuyutannya memperoleh senjata pamungkas. Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran yang dijaga ketat di Fordow atau Natanz akan menjadi operasi yang sangat kompleks dan berisiko, dan hampir pasti akan memicu perang regional habis-habisan yang coba dihindari semua pihak.

Perang Narasi—Alibi Nuklir dan Strategi "Playing Victim"

Di samping perlombaan teknologi nuklir yang nyata, terjadi pula perang narasi yang tak kalah sengitnya. Elemen kunci dari strategi Israel selama bertahun-tahun adalah provokasi melalui klaim. Israel secara konsisten dan vokal menuduh Iran tidak hanya mengembangkan program nuklir untuk tujuan militer, tetapi juga berada di ambang penyelesaian bom nuklir yang siap digunakan untuk "menghapus Israel dari peta".

Namun, dari perspektif Iran dan para pengamat kritis, narasi ini dipandang sebagai alibi yang disengaja. Mereka berpendapat bahwa Israel menggunakan "ancaman nuklir" sebagai dalih untuk beberapa tujuan strategis:

  1. Justifikasi Agresi: Klaim ancaman eksistensial memberikan Israel pembenaran di mata dunia untuk melakukan tindakan-tindakan agresif seperti serangan siber, sabotase fasilitas, dan pembunuhan para ilmuwan nuklir Iran. Tanpa narasi "ancaman nuklir", tindakan-tindakan ini akan lebih sulit diterima secara internasional dan dapat dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan negara lain.

  2. Mengamankan Dukungan AS: Dengan terus-menerus membunyikan alarm bahaya, Israel memastikan bahwa Amerika Serikat—sekutu terkuatnya—tetap waspada dan bersedia memberikan dukungan militer, finansial, dan diplomatik tanpa syarat untuk "menahan" Iran.

  3. Strategi "Playing Victim": Dengan memposisikan diri sebagai calon korban genosida nuklir, Israel berhasil mengalihkan perhatian dari kebijakannya sendiri, terutama pendudukan wilayah Palestina. Narasi ini memungkinkan Israel untuk mempertahankan citra sebagai "David" yang terancam oleh "Goliath" Persia, meskipun realitas kekuatan militer di lapangan (terutama jika dukungan AS diperhitungkan) jauh lebih kompleks.

Faktanya, hingga saat ini, badan-badan intelijen Barat, termasuk Amerika Serikat, dan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) sendiri belum menemukan bukti konklusif bahwa Iran telah membuat keputusan politik untuk benar-benar membangun senjata nuklir. Meskipun IAEA sering melaporkan bahwa Iran meningkatkan pengayaan uranium dan terkadang tidak sepenuhnya transparan, kesimpulan akhirnya tetap sama: tidak ada bukti kuat adanya program senjata aktif.

Kesenjangan antara tuduhan Israel yang dramatis dan bukti konkret di lapangan inilah yang memicu tuduhan bahwa Israel secara sinis memanipulasi isu nuklir sebagai bagian dari perang psikologis dan diplomatik yang lebih besar melawan Iran.

Ketidakpastian seputar niat nuklir Iran inilah yang menjadi bahan bakar utama konflik. Setiap langkah maju dalam program pengayaan uraniumnya meningkatkan genderang perang, mendorong Israel lebih dekat ke pilihan militer preventif, dan menempatkan AS dalam posisi yang sulit antara menahan sekutunya dan menghadapi ancaman proliferasi nuklir.

Dunia pada tahun 2025 tidak sedang bersiap untuk Perang Dunia Ketiga dalam pengertian klasik. Sebaliknya, kita sudah berada di tengah-tengah konflik global yang terfragmentasi, di mana Timur Tengah adalah panggung utamanya. Narasi lama tentang permusuhan Iran-AS, dukungan Rusia, dan kebencian terhadap Israel tetap ada, tetapi telah bermutasi menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks dan saling terhubung.

Konflik ini sekarang didefinisikan oleh:

  1. Konfrontasi Langsung: Tabu serangan langsung antara Iran dan Israel telah pecah, menciptakan preseden berbahaya untuk eskalasi di masa depan.

  2. Perang Proksi yang Matang: Jaringan proksi Iran bukan lagi sekadar pengganggu, melainkan kekuatan militer yang mampu membentuk kembali geopolitik regional dan global.

  3. Aliansi yang Bergeser: Dunia multipolar telah menciptakan poros baru seperti Rusia-Iran dan mengubah kalkulus negara-negara seperti China dan Arab Saudi.

  4. Ancaman Nuklir yang Nyata: Program nuklir Iran yang semakin maju adalah bom waktu yang terus berdetak di bawah seluruh struktur keamanan regional yang rapuh.

Bahaya terbesar saat ini bukanlah keputusan yang diperhitungkan dengan cermat untuk memulai perang total, melainkan salah perhitungan. Sebuah serangan drone dari proksi yang mengenai target yang salah, serangan rudal balasan yang lebih mematikan dari yang diperkirakan, atau keputusan gegabah yang dibuat di Teheran, Tel Aviv, atau Washington dapat dengan cepat memicu spiral eskalasi yang tidak dapat dikendalikan.

Dunia tidak hanya menonton dari pinggir lapangan; ia sudah merasakan dampaknya melalui harga energi yang lebih tinggi, rantai pasok yang terganggu, dan ketidakpastian ekonomi. Opini lama yang ditulis satu dekade lalu adalah potret dari percikan api; hari ini, kita sedang menatap kobaran api yang sudah menyala. Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan memulai perang, tetapi siapa yang memiliki kebijaksanaan dan keberanian untuk mencegahnya melahap seluruh kawasan dan menyeret seluruh dunia ke dalamnya.

Keterbatasan Sistem Pertahanan Udara (Iron Dome dan Lainnya)

Meskipun Iron Dome adalah sistem pertahanan rudal jarak pendek yang sangat canggih dan efektif terhadap roket berkaliber rendah seperti yang digunakan oleh Hamas atau Hizbullah, ia memiliki keterbatasan signifikan dalam menghadapi rudal balistik jarak jauh yang lebih besar dan canggih.

  • Desain dan Jangkauan: Iron Dome dirancang untuk mencegat roket dan proyektil artileri jarak pendek (sekitar 4-70 km). Rudal balistik Iran memiliki jangkauan yang jauh lebih besar (ratusan hingga ribuan kilometer) dan lintasan yang berbeda, yang berada di luar kemampuan optimal Iron Dome.

  • Kapasitas Saturasi: Serangan rudal dalam jumlah besar (salvo) dapat membanjiri kemampuan pencegatan Iron Dome. Meskipun Israel memiliki sistem pertahanan lapis lain seperti Arrow (untuk rudal balistik jarak jauh) dan David's Sling (untuk rudal jarak menengah), koordinasi sempurna dan kapasitas yang tidak terbatas tetap menjadi tantangan, terutama di bawah serangan multi-arah dan masif.

  • Biaya Pencegatan: Rudal pencegat Iron Dome sangat mahal (sekitar $50.000 - $100.000 per unit), sementara rudal atau roket musuh bisa jauh lebih murah. Ketidakseimbangan biaya ini menjadikan pertahanan jangka panjang yang mengandalkan pencegatan 100% secara ekonomi tidak berkelanjutan tanpa bantuan eksternal.

  • Kelemahan Taktis: Iran, dan kelompok proksi lainnya, telah mengembangkan taktik untuk mengeksploitasi kelemahan sistem pertahanan Israel, termasuk menggunakan kawanan drone atau kombinasi rudal dan roket yang berbeda untuk membingungkan dan membebani sistem. Insiden di mana rudal Iran berhasil menembus pertahanan Israel menunjukkan bahwa ada celah yang perlu diisi.

2. Ancaman Eksistensial dan Keamanan Regional

Israel memandang ancaman dari Iran dan kelompok-kelompok proksi di wilayah tersebut sebagai ancaman eksistensial. Iran, dengan program rudal balistiknya dan potensi pengembangan senjata nuklir, merupakan lawan yang jauh lebih kuat dan canggih dibandingkan kelompok-kelompok non-negara.

  • Superioritas Kuantitatif dan Kualitatif: Meskipun Israel memiliki militer yang kuat, ia menghadapi potensi ancaman dari beberapa front (Gaza, Lebanon, Suriah, dan Iran sendiri). Bantuan Barat memastikan Israel mempertahankan keunggulan kualitatif militer (Qualitative Military Edge/QME) yang esensial di wilayah yang tidak stabil.

  • Ancaman Nuklir: Ketakutan terbesar Israel adalah Iran mengembangkan senjata nuklir. Bantuan Barat, termasuk intelijen dan tekanan diplomatik, dianggap vital untuk mencegah skenario ini atau setidaknya mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

3. Ketergantungan Teknologi dan Intelijen

Amerika Serikat adalah penyedia utama teknologi militer canggih dan intelijen vital bagi Israel.

  • Transfer Teknologi: Israel mendapatkan akses ke sistem senjata mutakhir, teknologi penerbangan, dan komponen pertahanan rudal dari AS yang tidak dapat diproduksi sendiri atau akan memakan waktu dan biaya besar.

  • Berbagi Intelijen: Kerja sama intelijen yang erat dengan AS sangat penting untuk deteksi dini ancaman, perencanaan respons, dan pemahaman tentang kemampuan musuh. Kegagalan pencegatan sebagian rudal Iran mungkin juga menunjukkan perlunya peningkatan integrasi intelijen dan sistem peringatan dini.

4. Dukungan Diplomatik dan Politik Internasional

Dukungan Barat, terutama dari AS, memberikan legitimasi diplomatik dan perlindungan politik bagi Israel di panggung internasional, terutama di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

  • Hak Veto PBB: AS sering menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari resolusi yang dianggap merugikan.

  • Aliansi Regional: AS juga berperan dalam memfasilitasi normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab (seperti melalui Abraham Accords), yang penting untuk keamanan regional Israel.

5. Keamanan Ekonomi

Meskipun Israel adalah negara maju, bantuan ekonomi dan militer AS dalam bentuk hibah atau pinjaman lunak meringankan beban anggaran pertahanan Israel, memungkinkan mereka untuk mengalokasikan sumber daya ke sektor lain atau berinvestasi lebih lanjut dalam inovasi pertahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Porn, Racism, Sadism

Perang dunia ke-tiga sudah dimulai? Iran Vs Israel (USA, Prancis, Inggris, Jerman)

Bukan Lagi Perang Dunia Ketiga, Tetapi Perang Global yang Terfragmentasi Gagasan tentang "Perang Dunia Ketiga" yang meletus dari s...

Populer, Sist/Broo