Setiap daerah di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari nilai sejarah, ekonomi, sosial, budaya, dan kultur politik. Dalam memilih pemimpin misalnya, fanatik masyarakat turut mempengaruhi produk pemimpin yang dihasilkan. Dalam dunia modern memilih pemimpin selalu mengedepankan aspek rasional, yang bisa dinilai dari pendidikan, rekam jejak karir, kemampuan berkomunikasi dengan rakyat, jujur, cerdas, bisa dipercaya.
Fenomena SBY menjadi Presiden RI menjadi catatan yang tidak terlupakan. Ketika sosok tinggi tegap, ganteng, bahasanya halus dan sikapnya sopan menjadi pilihan yang tiada duanya pada waktu itu. Aspek indera meliputi telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, hidung untuk mencium dan kulit untuk meraba Aspek rasa indera adalah aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat memilih SBY pada waktu itu. Walaupun sebenarnya dari sisi kapabilitas, SBY merupakan orang yang mampu untuk menjadi seorang presiden. Tapi, dari banyak survey yang dilakukan, SBY dipilih masyarakat bukan dari sisi kapabilitanya melainkan dari sisi indera manusia, yaitu sosok yang memiliki karakter ganteng, tegas, tinggi, wibawa dsb.
Fenomena Jokowi menjadi pemimpin Jakarta merupakan fenomena yang lain dari peristiwa yang umum terjadi pada masanya. Sosok tinggi, kurus, ngomongnya di TV tidak begitu lancar, logat jawanya kental menjadi pilihan warga Jakarta untuk dijadikan pemimpin. Masyarakat mulai melupakan aspek indera ketika permasalahan yang terjadi tidak kunjung selesai. Jakarta membutuhkan sosok baru yang mampu bekerja keras, rendah hati, jujur, iklas, melindungi rakyat kecil dan mau mendengarkan rakyat. Jokowi merupakan fenomena baru di Negara RI ini, tentang bagaimana masyarakat menginginkan sosol seorang pemimpin.
Politik Indonesia yang katanya berubah sejak masa reformasi, tetapi dalam kenyataannya sering kita temui cita rasa politik kerajaan masih kental dalam dunia perpolitikan di Indonesia dewasa ini. Undang-undang membatasi kepala daerah memimpin hanya dua periode. Dal hal tersebut sudah bisa kita lihat hasilnya sekarang. Tetapi pertanyaannya apakah memang benar hanya dua periode.??
Keanekaragaman daerah di Indonesia melahirkan keanekaragaman masyarakat dalam memilih pemimpin mereka. Misalnya saja, disejumlah daerah masih ditemui politik dinasti. Politik dinasti tersebut merupakan perputaran kepemimpinan namun hanya dari kalangan keluarga. Hal inilah yang menjawab dari pertanyaan diatas. Dimana secara defakto sudah tidak menjadi pemimpin, tetapi secara de jure masih bisa memengaruhi pemimpin penggantinya. Walaupun tidak ada yang salah, tetapi politik dinasti menghalangi kesempatan orang lain yang memiliki kecakapan untuk tidak memimpin. Di Indonesia politik dinasti bisa dilihat pada tabel berikut ini.
Daerah
|
Nama Pemimpin
|
Jabatan
|
Status
|
Bangkalan, Jatim (2012)
|
Makmun Ibnu Fuad
|
Bupati Bangkalan
|
Anak Fuad Amin, Bupati Bangkalan lama
|
Mondir Roffi
|
Wakil Bupati Bangkalan
|
Adik kandung Syafik Roffi, Wakil Bupati Bangkalan sebelumnya
|
|
Kabupaten Tangerang, Banten (2012)
|
Ahmed Zaki Iskandar
|
Bupati Tangerang, Banten
|
Anak dari Ismet Iskandar, bupati lama
|
Tabanan, Bali (2010)
|
Ni Putu Eka Wirastuti
|
Bupati Tabanan
|
Menggantikan ayahnya, N Adi Wiryatama
|
Cilegon, Banten (2010)
|
Tubagus Iman Aryadi
|
Wali Kota Cilegon
|
Menggantikan ayahnya, Tubagus Aat Syafaat
|
Kutai Kartanegara, Kaltim (2010)
|
Rita Widyasari
|
Bupati Kutai Kartanegara
|
Anak Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kartanegara
|
Indramady (2010)
|
Ana Sophanah
|
Bupati Indramayu
|
Istri dari mantan Bupati Indramayu lama, Irianto MS Syafiuddin
|
Bantul, Yogyakarta
|
Sri Surya Widiati
|
Bupati Bantul
|
Menggantikan suaminya, Idham Samawi
|
Kediri, Jatim
|
Haryanti Sutrisno
|
Bupati Kediri
|
Menggantikan Sutrisno, mantan Bupati Kediri
|
Probolinggo, Jatim
|
Puput Tantriana Sari
|
Bupati Probolinggo
|
Menggantikan suaminya, Hasan Aminudin
|
CImahi, Jabar
|
Atty SUharti Masturi
|
Walikota Cimahi
|
Menggantikan Itoch Tochiya, mantan walikota lama
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Porn, Racism, Sadism