Selasa, 29 Maret 2011

Dimensi Spiritual Menbuat Pagar Sebelum Acara Pernikahan di Desa Tanjungsari Kutowinangun Kebumen

pagar untuk acara pernikahan
Kepercayaan didaerah sekitar rumahku memang unik. Entah ini cuma hanya ada di desaku atau memang desa-desa yang lain juga sama seperti desaku. Pada saat saya jalan-jalan nampak beberapa orang yang sedang bekerja mengurus bambu. Ada yang menebang bambu, membelah bambu, membersihkan bambu (hasil belahan) sampai pada memasang bambu dengan cara menganyam sampai jadi pagar.
Itu semua merupakan salah satu kegiatan dikampung saya jika  seseorang memiliki hajat nikahan, terutama kalau nikahan tersebut diadakan baru pertama kali dalam suatu keluarga. Kalau ada keluarga dikampung Saya akan mengadakan hajatan pernikahan tertutama jika baru pertama kali suatu keluarga menyelenggarakan pesta pernikahan, maka ada tahap-tahap yang harus dilalui diantaranya seperti membuat pagar, pukul alu, dsb (dan saya bingung).
Mungkin hal demikian tidak akan  kita temui dalam masyarakat perkotaan. Budaya masyarakat perkotaan memang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan masih memiliki tradisi  turun-temurun. Walaupun tidak ada keterangan tertulis dalam aturan desa Saya jika kalau mau memiliki hajatan pernikahan untuk membuat pagar, namun keyakinan masyarakatlah yang menghendaki harus membuat pagar.
Jika sudah menyangkut kepercayaan masyarakat kalau tidak dilaksanakan pasti mereka akan ada berbagai macam perasaan kekurangan atas suatu acara termasuk didalamnya adalah acara pernikahan kurang memiliki kekuatan spiritual. Atau mungkin seseorang akan berekpetasi akan ada suatu bencana yang datang.
Sekarang memang sudah jaman modern berbagai alat komunikasi sudah masuk desa termasuk handphone, internet dan tv kabel. Agama pun sudah ada didesa Saya yang termasuk 100 persen penganut agama Islam. Secara rasional harus sudah terbebas dari perasaan perasaan spiritual yang tidak ada dalam masyarakt modern.
Atau mungkin ini ada suatu penjelasan rasional yang bisa menerangkan mengapa orang di kampung Saya jika akan memiliki hajatan harus membuat pagar terlebih dahulu. Tetapi itu tidak pernah Saya dapatkan.
Kebudayaan termasuk didalamnya adalah tradisi. Tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tradisi bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, tradisi dapat diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat keseluruhannya. Manusia yang membuat sesuatu dengan tradisi itu, menerima, menolak atau mengubahnya. (C.A. Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta, Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1984)
Kecenderungan warga didesa saya untuk membuat pagar merupakan warisan dari nenek moyang, karena masyarakat didaerah Saya menganggap bahwa jika tidak membuat pagar pada saat acara pernikahan pertama di suatu keluarga maka diyakini nanti akan terjadi bencana seperti pengantin yang kejang-kejang, atau pengantin yang tiba-tiba jatuh sakit. Hal ini pun saya pernah menanyakan kepada salah seorang yang membuat pagar.
membuat pagar, di desa tanjungsari kecamatan kutowinangun

Saya                               : Kenapa harus membuat pagar
Bapak pembuat pagar : Ya ini merupakan suatu syarat agar acara pernikahan berlangsung lancar.                             Dulu pernah saudara Saya pada saat membuat hajat pernikan tidak membuat pagar dan Si mantennya kejang-kejang saat ijab kabul.
Saya                               : Berarti ini wajib
Bapak pembuat pagar : Ini wajib untuk yang pertama kali jika disuatu keluarga mengadakan acara pernikahan. Jika sudah sekali membuat pagar maka selanjutnya boleh buat atau tidak buat juga tidak apa-apa.

Masyarakat kampung saya khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya adalah sebuah masyarakat simbolik. Ernst Cassirer mengatakan manusia adalah hewan yang bersimbol (animal symbolicum). Pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan siri khas manusiawi dan menjadi dasar seluruh kemajuan kebudayaan. Kebudayaan adalah penuh simbol, tempat dimana manusia dapat membaca dan menemukan ekspresi kehidupan dinamisnya. Simbilis adalah suatu roh penangkapan dan perwujudan rohani tertentu. Ekspresi simbolik artinya ekspresi sesuatu roha dengn tanda dan gambar inderwi dan harus ditangkap dalam arti seluas mungkin. (Dibyasuharda, dimensi Metafisik Dalam Simbol, Ontologi Mengenai akar simbol, (Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 1990), h.68-69
Manusia selalu menyeimbangkan dengan lingkungan alamnya. Bentuk pembuatan pagar menurut Saya merupakan penyesuaian masyarakat kampung saya dengan lingkungan dimana ia tinggal. Jika tidak ada keseimbangan akan ada suatu hal yang dianggap aneh. Misalnya jika ada kejadian yang tidak diinginkan orang lalu menganggap hal tersebut akibat dari suatu sebab, karena ada salah satu proses yang terputus. Keseimbangan ini terus dijaga terutama oleh orang-orang yang masih meyakini adanya keseimbangan dengan alam sekitarnya. Sehingga jiwa mereka menjadi lebih tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Porn, Racism, Sadism

Makan Bersama di Lombok Namanya Begibung

     Halo, teman-teman! Kali ini saya mau berbagi pengalaman saya yang pernah mendapat undangan makan dari teman dalam rangka maulid nabi. A...

Populer, Sist/Broo