Senin, 17 Februari 2014

Pengalaman Hujan Abu Karena Gunung Meletus di Kebumen

Masih teringat dalam benak Saya ketika terjadi letusan Gunung Merapi di Tahun 2010. Ketika itu, Saya yang sehabis lulus sekolah S1 dari salah satu PTN di Jogja sudah pindahan dari kos-kosan. Setelah beberapa bulan di rumah entah itu musibah atau berkah, gunung berapi yang berada di perbatasan DIY-Jateng mengeluarkan erupsi. Ketika itu pula bencana yang disebut "erupsi merapi" menghiasi judul-judul pemberitaan di berbagai media dalam beberapa minggu. Ketenaran nya mengalahkan berita KPK dalam usaha pemberantasan korupsi. Saat itu pula Gunung Merapi menjadi trending topik dalam Twitter.




Betapa maha dahsyat bencana Gunung Merapi pada waktu itu. Belasan nyawa melayang yang salah satunya adalah juru kunci gunung  yaitu Mbah Marijan. Mbah Marijan adalah contoh dari segelintir orang yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap jabatannya. Ketika Gunung Merapi mulai memperlihatkan tanda-tanda akan meletus, media banyak meliput Mbah Marijan sebagai sosok yang setia dengan pekerjaan. Mungkin tidak banyak pekerjaan seperti yang dimiliki oleh Mbah Marijan. Untuk menjadi juru kunci Gunung Merapi memiliki syarat khusus. Hanya Hamengkubuwono IX saja, mengapa Mbah Marijan pantas menjadi juru kunci gunung yang legendaris bagi orang Jogja tersebut. Itu adalah contoh dari salah satu pelajaran yang bisa diambil ketika terjadi letusan Tahun 2010. Kali ini Saya tidak akan membahas mengenai kisah heroik Mbah Marijan. Disamping karena keterbatasan pengetahuan Saya terhadap tokoh Marijan, Saya yakin sudah banyak cerita yang di beritakan oleh orang lain tentang sosok Marijan.



Ketika Gunung Merapi meletus hingga menjadikan hujan abu yang begitu besar di wilayah DIY dan Jateng suasana nya begitu gelap. Pada waktu itu pagi-pagi yang seharusnya petani sudah mulai ke sawah untuk merawat tanaman, atau pelajar yang berangkat menuju sekolah menaiki sepeda ontel, atau pedagang  dengan barang dagangannya menuju pasar. Tetapi waktu itu pemandangan nya lain dari biasanya. Ketika Saya terbangun dari pagi itu sekitar Pukul Lima suara rintik-rintik hujan abu sudah mulai terdengar. Nampaknya ayam jago harus berkokok lebih lama, atau waktu subuh seperti diperpanjang oleh Tuhan. Sampai dengan pukul tujuh pagi terasa tak lebih dari waktu subuh pada hari-hari biasa. Aktivitas pun terganggu.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya suasana gelap, dengan pemandangan halaman dan sekitar rumah putih dan putih. Pemandangan tersebut menyerupai ketika melihat film dengan latar bersalju. Mulai dari atap yang terlihat putih, pohon pisang dan pohon lainnya daun nya melengkung kebawah dan tangkainya hampir putus, jalan depan rumah yang ditutupi debu dan seketika debu tersebut berterbangan ketika kendaraan melewatinya yang seolah seperti acara  di televisi yang menabur tepung kepada salah seorang yang sedang berulang tahun. Mulai waktu itu adalah "hari-hari tanpa abu". Untuk pergi ke kota kecamatan harus mengenakan mantel agar badan tidak begitu banyak terkena abu.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Porn, Racism, Sadism

Makan Bersama di Lombok Namanya Begibung

     Halo, teman-teman! Kali ini saya mau berbagi pengalaman saya yang pernah mendapat undangan makan dari teman dalam rangka maulid nabi. A...

Populer, Sist/Broo