Rabu, 29 April 2020

Cerita Singkat ke Pulau Timor, NTT

Beberapa tahun yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi mutiara di timur Indonesia, Pulau Timor. Walaupun sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu, akan tetapi memori itu masih teringat jelas. Saya terbang dari Surabaya sekitar dua jam menggunakan pesawat Lion. Kala itu adalah penerbangan pertama saya ke bagian Indonesia timur. Saya bersama tiga teman yang lain memilih menggunakan satu pesawat agar bisa berangkat dan sampai bersamaan, dan yang jelas biar tidak bingung ketika dijalan. Selain itu ongkos untuk naik taksi  dapat dibuat patungan sehingga tidak terlalu menguras kantong.

Waktu itu penerbangan belum ramai, sehingga tiketnya agak sedikit mahal jika dibanding dengan sekarang.Didalam pesawat, kami berada pada baris tempat duduk yang sama. Saya memilih untuk duduk didekat jendela agar bisa melihat-lihat pemandangan dan biar tidak bosan didalam pesawat, tahu sendiri waktu dua jam didalam pesawat rasanya seperti dua tahun jika kita didarat. Pingin cepet-cepet nyampai soalnya. Setelah pesawat terbang, kami mengobrol dengan topik kesana kemari. Beberapa saat kemudian saya memperhatikan teman-teman saya lebih memilih tidur mungkin karena saking capeknya, mungkin waktu itu dalam bulan puasa, energinya sudah mulai berkurang.


Saya pun mungkin tanpa sadar telah tidur diatas pesawat, karena tiba-tiba saja  pesawat sudah berada di selatan Pulau Flores. Dan setelah itu, pilot mengarahkan pesawat kearah selatan menuju Pulau Timor. Pesawat sudah mulai diturunkan dari ketinggian, dan kami dapat lebih jelas melihat yang ada di bawah kami, misalnya kapal, atau gedung-gedung di Pulau Timor. Tampaknya kami harus menunggu agak lama untuk landing, mungkin pada waktu itu Bandara Eltari Kupang sedang sibuk-sibuknya. Pesawat yang kami tumpangi sesekali terbang diatas pulau sebelum kembali lagi keatas laut, karena posisinya berputar. Kota Kupang sudah terlihat dari atas pesawat, akan tetapi kami di PHP terus sampai beberapa kali putaran, saya kira sudah mau turun eh tahu-tahu mutar dan mutar lagi. Selama terbang rendah, tiba-tiba teman yang berada disamping saya bertanya kepada saya karena melihat saya dalam keadaan gelisah dengan memegang-megang telinga. Itulah pertama kali saya sangat tidak nyaman, rasanya pingin cepat sampai agar perasaan menjadi plong. Ketika saat itu saya  kepikiran lebih memilih tiduran di rumah gubuk yang jelek yang penting dapat membuat hati nyaman. Atap bocor, dipan yang jelek tidak apa-apa yang penting hidup nyaman, dari pada naik pesawat akan tetapi tersiksa karena ternyata kuping saya terasa sangat sakit.

Waktu yang dibutuhkan untuk berputar-putar oleh pesawat sekitar seperempat jam akan tetapi rasanya seperti dua tahun karena kuping saya terasa sangat sakit. Kemudian teman saya yang tahu kondisi saya seperti itu menyarankan agar mengunyah ludah dan menggerakan mulut. Dan ternyata gerakan mulut tersebut membantu walaupun tidak sepenuhnya hilang rasa sakit.

Rasa syukur yang paling ikhlas adalah ketika pesawat sudah benar-benar landing. Rasanya sangat plong, sangat senang sekali karena seperti hidup kembali setelah berperang dari rasa takut.
Sampai bandara kami langsung mencari taksi agar sampai di lokasi tepat waktu, karena panitia sudah mewanti-wanti kalau datangnya telat akan ditinggal menuju Soe. Beberapa tukang taksi menawarkan kepada kami angkutan ke lokasi yang kami tuju. Waktu itu kami memilih taksi akan tetapi kondisinya terlihat kurang baik karena mungkin faktor usia kendaraan. Harga yang ditawarkan sopir taksi sekitar 70 an ribu Rupiah pada waktu itu. Kami tidak berpikir panjang dan langsung memasukan barang bawaan kami kedalam taksi. Tidak butuh waktu lama bapak taksi mengantar kami ke tempat yang dituju. Sesampainya di lokasi yang menjadi tempat tujuan, ternyata rombongan kami datang paling telat. Sementara itu, peserta yang berasal dari tempat lain sudah baris di lapangan upacara, dan ini memalukan saudara.

Kami setelah itu di atur untuk menata tas di tempat tertentu kemudiaan baru kami masuk kedalam barisan. Beberapa kali kami disuruh berhitung untuk memastikan jumlah kami yang sebenarnya. setelah jumlahnya pas, kami diarahkan untuk memasuki bus dengan ukuran nanggung yaitu 2/3. Setelah berjalan beberapa saat, supir mengarahkan bus kearah wilayah Timor Leste, ya kami lewat jalan lintas Timor, jika lurus terus akan sampai negara tetangga, Timor Leste. Itu rasanya seperti berpetualang ke tempat baru, karena baru kali ini saya menikmati pemandangan yang luar biasa dan belum pernah saya lihat sebelumnya.



Ketika kami masih berada di Kota Kupang, saya melihat suasana ramainya kota dengan aktivitas warganya. Beberapa pasar masih buka dengan aktivitasnya menawarkan dagangan kepada pembeli. Saya juga perhatikan perhatikan anak-anak sekolah yang terlihat bersemangat menuntut ilmu. Ketika saya lewat, mereka sedang berkumpul didepan sekolah untuk menunggu kendaraan. Rupanya waktu itu merupakan jam pulang sekolah. Sekolah-sekolah masih nampak kurang sedap dipandang. Mungkin ini yang disebut banyak orang dengan fasilitas pendidikan dibagian timur Indonesia tertinggal. Padahal yang saya lihat berlokasi di tepi kota provinsi tepat nya di jalan lintas negara yang menghubungkan hingga Timor Leste. Gedung-gedung sekolah kurang layak jika menggunakan standar Indonesia bagian barat apalagi Jakarta. Banyak bangunan sekolah terlihat usang dan butuh segera untuk direnovasi. Halaman sekolah terlihat berdebu, tahu sendiri jika jam istirahat tiba, pasti debunya berterbangan karena anak-anak bermain-main disana. Dan hal ini dapat mengganggu kesehatan warga sekolah.

Lanjut lagi ke anak sekolah yang sedang menunggu angkutan umum tadi, rupa-rupanya anak-anak sekolah ini memilih-milih angkutan mana yang akan dinaiki. Padahal didepan sekolah sudah berjejer angkutan yang siap berangkat, akan tetapi kelihatannya anak-anak tadi menunggu untuk angkutan yang terlihat baik. Beberapa angkutan umum disana terlihat di dandani. Mungkin tujuannya untuk menarik penumpang agar mau naik. Desain baik interior atau bagian dalam dan eksterior atau bagian luar kendaraan tidak luput dari objek yang di dandani. Bagian luar mobil di cat dengan warna-warni yang menarik dan gambar yang mencolok, kadang ditambahi tulisan-tulisan yang menggigit. Ya, mirip dengan tulisan-tulisan dibelakang bak truk di Jawa. Kemudian bagian dalam kendaraan didandani seperti sebuah disko. Yang jelas yaitu ada speaker yang suaranya sekelas mesin jet tempur. Betapa bisingnya jika orang yang tidak biasa naik kendaraan tersebut tiba-tiba dengan terpaksa harus naik. Menurut saya bisingnya tidak masalah untuk orang lokal, malah mungkin menghibur. Toh adanya speaker yang di setting keras pada setiap kendaraan umum disana bukannya menandakan jika menyetel musik keras-keras merupakan suatu habitus, atau kebiasaan yang diamini kebenarannya oleh orang-orang disana. Rupanya setiap daerah memiliki caranya masing-masing untuk menghibur diri. Warga sini meluapkannya dengan musik-musik yang mereka stel di dalam kendaraan umum. Sebagian besar orang-orang di NTT memiliki cita rasa musik yang tinggi. Saya belum tahu sebabnya kenapa, praduga saya mungkin berkaitan dengan budaya masyarakat disana yang sebagian besar penganut Agama Nasrani. Mereka dituntut di gereja-gereja untuk dapat menyanyikan lagu karena merupakan bagian dari kegiatan ibadah. Menurut saya hal ini yang menyemangati masyarakat disana cinta dengan musik. Semoga saja generasi muda disini bukan hanya cinta musik saja akan tetapi juga menghargai pendidikan. Semoga semangat musik yang di putar keras-keras didalam angkutan umum disana ikut menyemangati anak-anak muda disini untuk giat belajar, sehingga menjadi modal dimasa yang akan datang dalam membangun didaerah yang menurut saya gersang ini.


Betapa tidak, lahan dikanan kiri jalan didominasi oleh bebatuan. Saya sempat membayangkan betapa sulitnya warga disini mendapatkan air. Tapi semoga saja ada sumber air yang mudah didapat. Seperti moto yang terkenal yaitu 'sumber air su dekat". Ketika berada di luar daerah sini atau ketika berada di Jawa, saya kurang meresapi kata-kata legend tadi. Tapi setelah berkunjung langsung ke Pulau Timor, saya merasakan secara langsung betapa sulitnya masyarakat mendapatkan air. Padahal air adalah sumber kehidupan yang menghidupkan bumi. Jalan-jalan terlihat kering dan berdebu, tidak gampang menemukan areal persawahan, jika pun menemukan itu merupakan pemandangan yang langka. Hanya beberapa lokasi saja yang masih bisa ditemui persawahan. Beberapa bagian jalan ternyata sedang ada proyek drainase. Beberapa pekerja seperti terlihat berkemah pada wilayah tertentu ditengah hutan yang jauh dari permukiman. Tumpukan semen terlihat disamping tenda, dan biasanya disampingnya ada kolam buatan yang terbuat dari terpal. Entah sudah berapa lama para pekerja yang mengerjakan proyek tersebut tinggal disana, yang jelas mereka bekerja jauh dari permukimanan, dan kemungkinan mereka juga tinggal disana.


Bis 2/3 yang di kendarai masih terus melaju dengan kecepatan yang lumayan tinggi, padahal sebagian besar jalannya naik  turun dan tikungan. Tapi tidak masalah kita percaya saja kepada pak supir, karena mereka yang sudah tahu medan. Jalan mulai terlihat ekstrim ketika memasuki Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jalanannya kadang naik, kadang turun, dan di tambah dengan kelokan yang tidak putus. Suasana mulai terasa dingin. Karena arah bis menuju daerah dataran tinggi. Dingin tapi kering, dan kami harus bersiap-siap agar kulit tidak pecah-pecah. Saya pernah baca artikel, bahwa penggunaan krim kulit yang tepat dapat mengurangi kulit pecah-pecah jika kita memasuki daerah baru yang cuacanya berbeda dengan daerah tinggal sebelumnya.

Dalam perjalannya saya begitu menikmati, sesekali pandangan  saya arahkan keluar kaca jendela bis. Saya tertarik karena jarang-jarang saya bisa melihat pemandangan ditempat yang baru. Jiwa petualang saya muncul dimana kenikmatan seorang petualang dapat dilihat ketika dapat menikmatai jenggal tanah dimana dipijak. Biasanya saya hanya melewati daerah dimana biasa saya tinggal, akan tetapi kali ini keluar kandang dan berada jauh dari habitat asli. Kinilah saatnya dapat kesempatan berada di luar tempat biasa tinggal. Seluruh panca indera saya tempatkan pada lokasi tersebut. Seolah kita menyatu dengan latar sosial dan budaya setempat. Berusaha memahami kearifan lokal dari sudut pandang mereka. Tanpa dipertentangkan dengan budaya yang kita bawa. Menurut saya inilah yang disebut dengan toleransi. Walaupaun rasanya untuk seratus persen berempati kepada daerah yang baru dikunjungi itu sulit. Karena kita masih membawa latar belakang dari mana kita berada. Kita masih membawa ego kita dari mana berasal. Seolah apa yang ada pada diri kita ini adalah yang terbaik di dunia, orang diluar kita hanya memiliki sebagian kebaikan yang kita miliki. Inilah pikiran yang kadang saya alami ketika berada di tempat baru. Konflik batin antara mau menyesuaikan dengan lingkungan setempat dengan pertentangan dengan nilai-nilai latar belakang dari mana kita berasal kadang membuat  pusing sendiri. Akan tetapi menurut saya jalan terbaik adalah kita harus melepas ego sejenak untuk menjadi bagian lain. Menurut saya hal ini tidak ada salahnya karena akan mendekatkan diri kita pada lingkungan setempat. Pengabaian terhadap nilai-nilai lokal dimana kita berada justru akan mendekatkan pada konflik dengan masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan penduduk lokal akan merasa tidak dihargai dengan budaya mereka. Penduduk lokal merasa terancam dengan orang luar yang akan menghancurkan status kuo mereka. Warga lokal perlu dihargai soal eksistensi mereka, walaupun jumlah mereka kecil, tidak ada salahnya untuk mengangkat hati mereka karena mereka juga bagian dari kita, akan tetapi karena tidak tinggal bersama akan menghasilkan keyakinan yang berbeda.

Setelah saya sampai pada lokasi yang dituju kemudian semua rombongan bergegas untuk mengambil barang bawaan yang sebagian besar ditaruh diatap bis. Selang tidak lama kemudian dari panitia membagikan kunci kamar untuk segera ditempati. Waktu itu malam, dan lokasi penginapan berada di tengah hutan, jauh dari perumahan penduduk. Terdengan suara hewan dan serangga yang ikut meramaikan suasana. Bisa dibayangkan jika tidak ada hewan dan serangga tersebut suasana begitu hening. Mungkin ini salahsatu cara Tuhan menghibur mahluknya yang lelah dari perjalanan untuk segera dapat beristirahat dengan nyaman agar menyatu dengan alam. Waktu itu dingin menggigit hingga ketulang. Jaket yang saya bawa ternyata belum mampu menghangatkan badan. Ini hal yang tidak saya sangka-sangka sebelumnya. Suasana yang dingin seperti saat itu pernah saya alami yaitu ketika mendaki  Gunung Merapi yang berada diperbatasan Provinsi DIY dan Jawa Tengah. Namun, nasi sudah menjadi bubur dan menurut saya tidak ada yang disesali karena kurangnya persiapan dan informasi yang saya dengar tentang daerah ini, yaudah kita jalan sesuai air, mengalir tanpa beban, justru beban sesungguhnya adalah pikiran kita sendiri yang banyak mengeluh. Lantas strategi yang saya lakukan adalah dengan menambah baju di badan saya. Akan tetapi hal ini tidak berhasil menghangatkan badan. Akibatnya, tidur saya tidak bisa nyenyak. Malam itu saya jadi sering bangun karena rasa dingin yang luar biasa. Dan yang saya takutkan adalah kondisi badan drop karena kondisi seperti ini. Tapi Alhamdulillah, badan saya masih diberi kesehatan untuk mejalani hari-hari di asrama.

Kegiatan di Soe dilakukan didalam ruangan. Dalam satu minggu masuk enam hari, dan waktunya ful dari pagi hingga sore hari. Suntuk memang suntuk jika mengunakan standar diri pribadi ini, karena memang saya orangnya ingin yang bebas tidak terikat banyak aturan. Jika pada hari libur tiba, kami menyempatkan mengunjungi lokasi yang ada disekitar lokasi kami berada. Kami mengunjungi arboretrum alias hutan buatan untuk menikmati alam. Atau sesekali kami mengunjungi melihat pemandangan didaerah padang rumput yang terkenal dengan sunsetnya. Selama disini saya berusaha berinteraksi dengan penduduk sekitar misalnya dengan membeli kebutuhan harian di warung-warung yang berada disekitar lokasi diklat. Adapula dari kami yang menikmati didalam kamar dengan bermain game yang kala itu Counter Strike lagi populer-populernya. Beberapa kali ikut main CS dengan teman-teman yang lain dengan menggunakan wifi, dan kami memainkan game itu di kamar masing-masing, dan hal sederhana ini mampu mengurangi rasa suntuk didalam asrama.

Pasar di Kota Kupang

Anak-anak sekolah sepulang sekolah

Hutan didekat lokasi diklat

Ke padang rumput menikmati pemandangan
 
Bersosialisasi dengan orang lokal

Acara Diklat

Menikmati sunset


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Porn, Racism, Sadism

Makan Bersama di Lombok Namanya Begibung

     Halo, teman-teman! Kali ini saya mau berbagi pengalaman saya yang pernah mendapat undangan makan dari teman dalam rangka maulid nabi. A...

Populer, Sist/Broo