Selasa, 16 Februari 2010

Metode Fenomenologi

Aku masih ingat dengan penjelasan Prof Moleong dalam sebuah mata
kuliahnya di program Pascasarjana.
“Fenomenologi merupakan pendekatan filosofis yang tidak puas dengan
positivisme36 dalam memahami fakta-fakta dan sebab-sebab gejala sosial. Sebagai
sebuah pemikiran dalam khasanah ilmu filsafat, fenomenologi pada awalnya mucul
dari pemikiran Edmund Husserl di Jerman pada tahun 1890-an. Namun, sebagai
sebuah pemikiran dalam khasanah ilmu sosial, fenomenologi dikembangkan oleh
Alfred Schutz dalam bukunya yang berjudul The Phenomenology of Social World
pada tahun 1932. Dalam bukunya Schutz memusatkan perhatian pada cara orang
memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam kesadaran mereka
sendiri. Banyak pemikiran Schutz yang dipusatkan terhadap satu aspek dunia sosial
yang disebut kehidupan dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari. Ia
menamakannya dengan dunia inter-subyektif. Dalam dunia inter-subyektif ini orang
menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada”.
Ketika aku melakukan penelitian, aku memakai metode kualitatif. Hal ini
dikarenakan metode kualitatif mampu menganalisa realitas sosial secara lebih
mendalam. Selain itu ia dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena
yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Peneliti lebih mudah menyesuaikan
diri di lapangan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Metode ini juga
mampu memahami aspek-aspek yang sifatnya personal seperti ide, keyakinan, nalar,
emosi dan sebagainya tanpa mengisolasi kedalam variabel tertentu. Penelitian
Kualitatif menurut Bogdan dan Taylor didefinisikan sebagai: “Prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari perilaku yang dapat
diamati”. Definisi ini diperkuat oleh Baker dengan menyatakan: The simplest
definition of qualitative research involves the fact that the findings of a qualitative
study are presented not in numbers but solely in words”.

Wayang di Jogja


Ki Joko adalah salah seorang dalang yang cukup ternama di kota Jogja. Tidak jarang ia terbang ke berbagai tempat untuk menggelar pementasan wayang kulit. Beberapa kali aku menonton Ki Joko memainkan wayang di Sasono Hinggil yang terletak di sebelah utara Alun-alun Kidul. Biasanya pertunjukan itu diadakan setiap minggu kedua dan keempat, dimulai pada pukul 21.00 WIB. Tempat lainnya yang sering dipakai untuk pementasan wayang adalah Bangsal Sri Manganti yang terletak di Keraton Yogyakarta. Wayang Kulit di bangsal tersebut hanya dipentaskan selama dua jam mulai pukul 10.00 WIB setiap hari Sabtu. Setiap kali aku menonton aksi Ki Joko, aku harus membayar tiket lima ribu perak.

Sebagai orang Jawa, aku juga sedikit mengenal salah satu budaya tersebut. Menurut buku yang aku baca, wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu- Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam. Wayang adalah sebuah alat komunikasi massa yang sangat efektif dalam masyarakat Jawa. Ketika aku membaca sebuah buku tentang sejarah Wayang Jawa, aku Ternyata cerita wayang bersumber dari beberapa

kitab tua. Selain Ramayana dan Mahabharata yang terkenal itu, ada pula Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan olehdalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.

Panggilan Orang Bule

Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Itulah pepatah yang menggambarkan bahwa setiap daerah satu memiliki perbedaan dengan daerah yang lainnya, baik itu dari segi geografis, social, adat, budaya maupun kebiasaannya. Hal ini Saya gambarkan untuk sebuah panggilan nama seseorang antara budaya barat dengan budaya Jawa.
Orang bule sebenarnya lebih suka dipanggil dengan
namanya langsung, tidak peduli perbedaan usia diantara mereka. Seorang cucu biasa
memanggil John, Jack, atau Paul kepada kakeknya sendiri, apalagi kepada orang
yang sama usianya. Sebuah panggilan yang dimata orang Jawa sangat tidak sopan.
Apalagi di dunia Keraton, seandainya ada seorang anak memanggil orang tuanya
dengan cara seperti itu entah apa yang akan terjadi?. Aku sadar memang budaya
masing-masing orang berbeda-beda. Tapi entah kenapa aku terasa amat tidak
nyaman jika mengikuti cara orang barat memanggil nama orang lain. Bagaimanapun
juga aku adalah orang Jawa. Dan akan lebih nyaman memanggil orang lain dengan perkataan halus dan bahasa yang sopan serta dengan panggilan yang baik.

Upon Once at Minimarket Jogja Ceria


Segera ku turun di Minimarket Jogja Ceria, memarkir motorku lalu cepatcepat masuk kedalam agar tidak terkena hujan. Aku fikir lebih baik aku membeli sesuatu ditempat ini. Berbelanja sambil menunggu hujan reda, meskipun aku hanya membeli sekaleng susu atau sebungkus roti. Aku kembali teringat dengan masa-masa yang telah lalu, ketika aku hidup dalam kondisi pas-pasan. Jangankan berfikir untuk shopping membeli sekaleng susu, mentega, atau agar-agar. Untuk sekadar makan makanan pokok saja aku harus mengatur pengeluaranku dengan sangat hati-hati. Jika lengah sedikit saja dengan membeli barang-barang yang bukan merupakan prioritas, aku bisa sampai puasa Dawud atau berhutang uang di salah satu teman kos. Namun, kali ini aku sudah tidak terlalu khawatir untuk membelanjakan sebagianpendapatanku. Meskipun aku juga harus tetap cermat agar tidak terjadi besar pasak daripada tiang.
Aku melihat berbagai macam jenis jajanan didalam Minimarket. Aku sengaja melihat-lihat lebih lama di lantai satu, sedangkan di lantai dua berisi barang-barang kebutuhan kantor dan rumah tangga yang aku tidak sedang membutuhkannya. Sesekali aku memicingkan mataku keluar untuk melihat kondisi. Ternyata hujan deras masih awet mengguyur setiap ruas jalan. Tepat didepan mataku orang-orang masih setia menunggu hujan sambil mengiup dibawah atap toko. Oh, kasihan sekali mereka yang sedang memiliki agenda kerja, atau bapak-bapak yang harus cepatcepat pulang dari kantor karena sudah ditunggu istri dan anak-anaknya di rumah. Ah, tapi aku kira air hujan bukanlah hal yang asing. Orang-orang sudah beradaptasi dengan setiap kondisi yang ada. Fikiranku berdialektika. Aku terus melihat-lihat semua barang dan beragam jenis jajanan yang tersedia. Aku mengambil sekaleng susu putih, sebungkus roti isi keju dan dua kotak
bakpia pathuk, lalu aku masukan kedalam keranjang.

Perang dunia ke-tiga sudah dimulai? Iran Vs Israel (USA, Prancis, Inggris, Jerman)

Bukan Lagi Perang Dunia Ketiga, Tetapi Perang Global yang Terfragmentasi Gagasan tentang "Perang Dunia Ketiga" yang meletus dari s...

Populer, Sist/Broo